Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang
sering juga disebut sebagai social disclosure, corporate social reporting, social
accounting (Mathews,1995) atau corporate
social responsibility (Hackston dan Milne, 1996) merupakan proses
pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi
terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara
keseluruhan. Hal tersebut memperluas tanggung jawab organisasi (khususnya
perusahaan), di luar peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan
kepada pemilik modal, dan khususnya pemegang saham. Perluasan tersebut dibuat
dengan asumsi bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih luas
dibanding hanya mencari laba untuk pemegang saham (Gray et. al., 1987 dalam
Sembiring 2005). Undang
Undang No. 40 Tahun 2007 pasal 66 ayat (2) tentang Perseroan Terbatas
mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan aktivitas tanggung jawab sosialnya
dalam laporan tahunan. Namun demikian, item-item CSR yang diungkapkan
perusahaan merupakan informasi yang masih bersifat sukarela (voluntary).
Menurut Zadex
(1998:1426) dalam Sulistyowati (2004), alasan perusahaan melakukan pengungkapan
tanggung jawab sosial adalah:
· Untuk
memahami apakah perusahaan telah mencoba mencapai kinerja sosial terbaik sesuai
yang diharapkan.
·
Untuk
mengetahui apa yang dilakukan perusahaan dalam meningkatkan kinerja sosial.
·
Untuk
memahami implikasi dari apa yang dilakukan perusahaan tersebut.
Sedangkan
menurut Gray, Owen, dan Maunders (1988) dalam Sulistyowati (2004), tujuan
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan adalah:
·
Untuk
meningkatkan image perusahaan.
· Untuk
meningkatkan akuntabilitas suatu organisasi, dengan asumsi bahwa terdapat
kontrak sosial antara organisasi dengan masyarakat.
·
Untuk
memberikan informasi kepada investor.
Komitmen perusahaan dalam melaksanakan, menyajikan
dan mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan lingkungan memberi
manfaat bagi perusahaan. Manfaat yang diperoleh perusahaan adalah:
· Profitabilitas dan kinerja keuangan perusahaan akan
semakin kokoh.
· Meningkatnya akuntanbilitas dan apresiasi positif
dari komunitas investor, kreditor, pemasok, dan konsumen.
· Meningkatnya komitmen etos kerja, efisiensi dan
produktivitas karyawan.
· Menurunnya kerentanan gejolak sosial dan resistensi
komunitas sektiar karena merasa diperhatikan dan dihargai perusahaan.
· Meningkatnya reputasi, corporate branding, goodwill
(intangible asset) dan nilai
perusahaan dalam jangka panjang (Lako, 2010:103).
Darrough (1993) dalam Binsar H. Simanjuntak dan
Lusy Widiastuti (2004) mengemukakan ada dua jenis pengungkapan dalam
hubungannya dengan persyaratan yang ditetapkan standar, yaitu:
a. Pengungkapan
wajib (mandatory disclosure).
Pengungkapan wajib adalah pengungkapan minimum yang
disyaratkan oleh lembaga yang berwenang (Pajak, Undang-Undang, SAK, maupun
BAPEPAM). Jika perusahaan tidak bersedia untuk mengungkapkan informasi secara
sukarela, pengungkapan wajib akan memaksa perusahaan untuk mengungkapkannya.
b. Pengungkapan
sukarela (voluntary disclosure).
Pengungkapan sukarela adalah pengungkapan
butir-butir yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan, mencangkup:
lingkungan, energi, kesehatan dan keselamatan kerja, tenaga kerja, produk, keterlibatan
masyarakat dan umum, dll (Hackson dan Milne 1996 dalam Sembiring 2003).
Menurut
Gray et.al., (1995b) dalam Sembiring (2003) ada dua pendekatan yang secara
signifikan berbeda dalam melakukan penelitian tentang pengungkapan tanggung
jawab sosial perusahaan.
a. Pertama, pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan
mungkin diperlukan sebagai suplemen dari aktivitas akuntansi konvensional.
Pendekatan ini secara umum akan menganggap masyarakat keuangan sebagai pemakai
utama pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan cenderung membatasi
persepsi tentang tanggung jawab sosial yang dilaporkan.
b. Pendekatan alternatif kedua dengan meletakan
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan pada suatu pengujian peran
informasi dalam hubungan masyarakat dan organisasi. Pandangan yang lebih luas
ini telah menjadi sumber utama kemajuan dalam pemahaman tentang pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan dan sekaligus merupakan sumber kritik yang
utama terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Karakteristik perusahaan dalam pengungkapan
tanggung jawab social perusahaan dapat dilihat dari bebrapa indicator,
diantaranya:
a. Ukuran Perusahaan
Menurut Mulianti (2010), ukuran
perusahaan mempunyai pengaruh penting terhadap integrasi antar bagian dalam
perusahaan, hal ini disebabkan karena ukuran perusahaan yang besar memiliki
sumber daya pendukung yang lebih besar dibanding perusahaan yang lebih kecil.
Pada suatu perusahaan yang kecil maka kompleksitas yang terdapat dalam
organisasi juga kecil. Perusahaan kecil sangat rentan terhadap perubahan
kondisi ekonomi dan cenderung kurang menguntungkan, sedangkan perusahaan besar
dapat mengakses pasar modal.
Ukuran
perusahaan merupakan variabel yang digunakan untuk menjelaskan pengungkapan
sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan tahunan yang dibuat.
Secara umum perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada
perusahaan kecil. Hal ini disebabkan karena perusahaan besar akan menghadapi resiko politis yang lebih besar
yaitu tekanan untuk melakukan pertanggung jawaban sosial daripada perusahaan
kecil. Teori
agensi menyatakan apabila ukuran perusahaan lebih besar, maka biaya
keagenan yang dikeluarkan juga lebih besar, sehingga untuk mengurangi
biaya keagenan tersebut perusahaan akan cenderung mengungkapkan informasi yang
lebih luas. Perusahaan yang lebih besar akan mendapat sorotan yang lebih banyak
dari masyarakat sehingga pengungkapan yang
lebih besar merupakan cara untuk mengurangi biaya politis sebagai wujud
tanggung jawab sosial perusahaaan (Sembiring, 2005).
b. Tingkat Profitabilitas
Profitabilitas merupakan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan
laba selama periode tertentu (Munawir, 2004). Bila perusahaan ingin tetap hidup
untuk dapat tumbuh dan berkembang, maka perusahaan harus memperoleh laba atau
dengan kata lain perusahaan harus berada dalam keadaan yang menguntungkan (profitable).
Menurut Heinze dalam Hackston dan Milne (1996), profitabilitas merupakan faktor yang
membuat manajemen menjadi bebas
dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kapada pemegang
saham, sedangkan menurut teori keagenan mengatakan semakin besar perolehan laba
yang didapat, semakin luas informasi sosial yang diungkapkan perusahaan. Itu
dilakukan untuk mengurangi biaya keagenan yang muncul. Hal ini berarti, semakin
tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan
informasi sosialnya.
c. Tingkat Financial Leverage
Menurut Kasmir (2009:150), “leverage merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa
besar kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka
pendek atau jangka panjang”. Rasio leverage
digunakan untuk memberikangambaran mengenai struktur modal yang dimiliki
perusahaan, sehingga dapat dilihat tingkat resiko tak tertagihnya suatu hutang.
Dalam perjanjian terbatas seperti
perjanjian hutang yang tergambar dalam tingkat leverage dimaksudkan
membatasi kemampuan manajemen untuk
menciptakan transfer kekayaan antar pemegang saham dan pemegang obligasi.
Tambahan informasi seperti informasi
sosial diperlukan untuk menghilangkan keraguan pemegang obligasi terhadap
dipenuhinya hak-hak mereka sebagai kreditur (Meek, et.al dalam Sulastini
(2007)). Oleh karena itu perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk
melakukan pengungkapan yang lebih luas daripada perusahaan dengan leverage yang rendah.
d. Ukuran
Dewan Komisaris
Dewan
komisaris merupakan mekanisme pengensalian intern tertinggi yang bertanggung
jawab untuk memonitor tindakan manajemen puncak. Komposisi individu yang
bekerja sebagi anggota dewan komisaris merupakan hal penting dalam memonitor
aktivitas manajemen secara efektif (Fama dan Jasen dalam Sitepu 2009).
Dewan komisaris terdiri dari inside
dan outside director yang akan memiliki akses informasi khusus yang
berharga dan sangat membantu dewan komisaris serta menjadikannya sebagai alat
efektif dalam keputusan pengendalian. Sedangkan fungsi dewan komisaris itu
sendiri adalah mengawasi pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan oleh
manajemen (direksi) dan bertanggung jawab untuk menentukan apakah manajemen
memenuhi tanggung jawab mereka dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pengendalian
intern perusahaan (Mulyadi,
2002).
Menurut Coller dan Gregor dalam
Sitepu (2009)
menyatakan bahwa semakin besar anggota dewan komisaris maka akan semakin mudah
untuk mengendalikan CEO dan memonitoring, sehingga yang dilakukan akan semakin
efektif. Dikaitkan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial, maka tekanan
terhadap manajemen akan semakin besar untuk mengungkapkannya. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Beasly (2000).
e. Intensitas
Research and Development (R&D)
Financial Accounting Standard no. 2 dalam Wilson dan Campbell
(1992) mendefinisikan Research (Penelitian) ialah sebagai perencanaan
atau investigasi kritis yang ditujukan untuk penemuan pengetahuan dengan
harapan pengetahuan tersebut akan bermanfaat dalam mengembangkan produk atau
jasa baru atau proses, teknik baru atau mewujudkan perbaikan yang signifikan
untuk proses atau produk yang sudah ada. Sedangkan Development (Pengembangan) merupakan terjemahan
temuan penelitian atau pengetahuan lain ke dalam rencana atau desain produk
baru atau proses baru untuk peningkatan yang signifikan pada produk atau proses
yang sudah ada, baik rencana atau desain tersebut
akan ditujukan untuk penjualan atau digunakan.
Dalam Standar Akuntansi Keuangan
(SAK No.20)diungkapkan lebih jauh lagi
pengertian riset sebagai penelitian yang orisinil dan terencana yang
dilaksanakan dengan harapan memperoleh pengetahuan dan pemahaman teknis atau
ilmiah yang baru sedangkan pengembangan diartikan sebagai penerapan hasil riset
atau pengetahuan lain ke dalam suatu rencana atau desain untuk menghasilkan
bahan, alat, produk, proses, sistem atau jasa, sebelum dimulainya produksi
komersial atau pemakaian. Dengan
demikian, esensi dari R&D dapat diartikan sebagai sebuah studi tentang
ide-ide, metode, produk atau jasa dengan tujuan untuk menciptakan produk atau
proses baru, memperbaiki produk yang ada, dan menemukan pengetahuan baru yang
dapat bermanfaat dimasa depan (Arifian, 2011) R&D merupakan pengembangan produk agar perusahaan
mendapatkan keunggulan kompetitif. Patent, Hak Cipta dan Trademark menunjukan
keberhasilan perusahaan dalam R&D dimana
hal tersebut juga menunjukan reputasi suatu perusahaan sebagai bagian dari
aktiva tak berwujud, sehingga R&D sangat penting bagi sebuah perusahaan
untuk tetap bertahan dan bersaing dalam perubahan industri.
Para investor akan melihat sebuah
perusahaan yang sehat dengan menilai R&D dalam mengevaluasi kinerja masa
depan terutama ketika mengevaluasi sebuah investasi jangka panjang sehingga
akan banyak perusahaan mengalokasikan dana yang cukup besar untuk penelitian
dan pengembangan guna menciptakan produk atau proses baru, memperbaiki produk
yang ada, dan menemukan pengetahuan baru yang dapat bermanfaat untuk dimasa
depan. Selain itu R&D dalam hal ini juga memiliki makna yang luas, tidak
hanya terbatas pada pengembangan dan penemuan produk baru, akan tetapi R&D
dapat dilakukan pada sektor-sektor lain yang membutuhkan inovasi atau
peningkatan efektivitas seperti riset pemasaran dan pengembangan SDM.
Alasan yang mendasari keterkaitan
R&D dalam mempengaruhi CSR adalah karena produk, jasa maupun proses baru
yang diciptakan perusahaan melalui R&D tidak hanya berorientasi pada profit
saja, tetapi juga memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Hal itu berarti,
aspek lingkungan dan sosial yang dilakukan perusahaan melalui R&D sejalan
dengan prinsip CSR. Variabel R&D menjadi salah satu faktor yang perlu
diperhatikan karena memiliki pengaruh terhadap CSR. Variabel ini menjadi
menarik untuk diteliti setelah sebelumnya McWilliams dan Siegel (2000)
menemukan bukti adanya hubungan R&D dengan CSR ketika mereka melakukan
penelitian mengenai hubungan CSR dengan kinerja keuangan perusahaan.
Pengungkapan tanggung jawab sosial
dapat diukur dengan proksi Corporate Social Responsibility
Disclosure Index (CSRDI)
berdasarkan Global Reporting Initiatives (GRI) yang diperoleh dari website
www.globalreporting.org. Indikator GRI ini terdiri dari tiga fokus
pengungkapan, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial sebagai dasar sustainability.
Pengukuran CSRDI mengacu pada penelitian Marpaung (2009) yang mengelompokan
informasi CSR ke dalam kategori: masyarakat, konsumen dan tenaga kerja, karena
item-item pengungkapan CSR di dalamnya sangat cocok dijadikan pengukur variabel
dependen. Kategori pengungkapan CSR terlampir pada daftar kategori pengungkapan
corporate social responsibility yang terlampir dalam lampiran ii. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan content analysis dalam mengukur variety
dari CSRDI. Pendekatan ini pada
dasarnya menggunakan pendekatan dikotomi yaitu setiap item CSR dalam
instrumen penelitian diberi nilai 1 jika diungkapkan, dan nilai 0 jika tidak
diungkapkan. Selanjutnya, skor dari setiap item dijumlahkan untuk memperoleh
keseluruhan skor untuk setiap perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar